Kamis, 27 Oktober 2011

Guru Harus Mau Maju

JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan yang dijalankan di sekolah-sekolah saat

ini untuk mempersiapkan generasi masa depan. Karena itu, para pendidik mesti
terbuka pada gagasan dan inovasi dalam mengajar dan sistem pendidikan yang
sesuai dengan perubahan global. "Para guru harus mau mendorong dirinya untuk
maju. Saat ini, kita butuh pendidik yang ebrkualitas dan juga punya jiwa
kepemimpinan di kelas dan sekolah. Guru-guru yang punya kepemimpinan ini
berperan penting unt ...

Berita Selengkapnya :
http://www1.kompas.com/read/xml/2011/10/26/20292834/Guru.Harus.Mau.Maju

Pesan :

Lulusan Geografi Minim, Kebutuhan Ahli Tak Terpenuhi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Lulusan program studi geografi masih sedikit

sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang tersebut. Hal
itu dikatakan Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Suratman, di sela-sela pertemuan jaringan Center of Natural Resources
Development (CNRD), di Yogyakarta, Selasa (25/10/2011). "Dari sekitar 500-an
perguruan tinggi di Indonesia, baru sekitar 27 perguruan tinggi yang
memiliki program studi geografi ...

Berita Selengkapnya :
http://www1.kompas.com/read/xml/2011/10/25/17434655/Lulusan.Geografi.Minim.Kebutuhan.Ahli.Tak.Terpenuhi

Pesan :

PENGGUNAAN KONSEP SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS

PENGGUNAAN KONSEP SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS

Mohammad Imam Farisi
(Universitas Terbuka)

Jurnal Pendidikan Volume 2.2/PENGGUNAAN KONSEP SISWA ...

lppm.ut.ac.id/htmpublikasi/22farisi.htm

Dinamika pendidikan dewasa ini ditandai oleh suatu revolusi dan transformasi pemikiran tentang hakikat pembelajaran (lihat Ausubel, 1963; Alleman & Rosaen, dalam Shaver, 1991; Bell, 1993; Gagne 1985; Dahar, 1991; Bodner, dalam Sadia, dkk. 1996). Titik sentral setiap peristiwa mengajar terletak pada "susksesnya siswa mengorganisasi pengalamannya, bukan pada kebenaran siswa dalam melakukan replikasi atas apa yang dikerjakan guru" (Bodner, dalam Sadia, dkk. 1996). Dalam konteks pendidikan IPS, revolusi dan perubahan transformatif muncul sebagai konsekuensi perubahan epistemologi dan mainstream academic knowledge (Banks, 1995). Sasaran umum Pendidikan IPS adalah "menciptakan warga negara yang mampu mengerti masyarakatnya, dan mampu berpartisipasi aktif di dalam proses perubahan dan pengembangan masyarakat" (Banks, 1995; Parker, 1991; Jarolimek & Parker, 1991; 1993).

Di sisi lain, ternyata realitas di lapangan masih banyak menampakkan kekurangan. Praktik-praktik pembelajaran cenderung masih mengabaikan gagasan, konsep dan kemampuan berpikir siswa. Aktivitas guru lebih menonjol daripada siswa, dan terbatas pada hafalan semata (Pelly dalam Suwarma, 1991). Pembelajaran masih bersifat ekspositoris, sehingga belum mampu membangkitkan budaya belajar ‘learning how to learn’ pada diri siswa (Soepardjo dalam Suwarma, 1991). Menurut Gilbert, et.al (1982) hal ini disebabkan masih dianut asumsi bahwa siswa dalam keadaan "pikiran kosong" (blank mind) atau tabularasa.

Sementara itu, diakui Purta (1991) bahwa kajian-kajian empirik tentang konsep siswa (student"s concept) dan penggunaannya dalam pembelajaran Pendidikan IPS baru dimulai pada medio 1980an melalui studi Cornbelth, Armento, dan penelitian-penelitian serupa yang dirangkum oleh Purta (1991) dan Carter (1990). Itupun belum begitu komprehensif dilakukan. Padahal, konsep siswa sebagai pemaknaan setiap pribadi terhadap hasil interaksi dirinya dengan kehidupan masyarakat, memiliki makna penting dan strategis. Konsep siswa merupakan konstruksi dunia sosial siswa, yang merefleksikan berbagai realitas, problema yang terjadi di masyarakat dimana siswa berada.

Sehubungan dengan hal tersebut penulis melakukan "penelitian tindakan" (action research) (Hopkins, 1985; 1993; McNiff, 1992; Madya, 1994) atas dasar prinsip reflektif-inkuiri, partisipasi, dan kolaboratif antara peneliti, guru, dan peneliti mitra tentang pengembangan pembelajaran Pendidikan IPS di SD berdasarkan penggunaan konsep siswa. Penelitian dilakukan di kelas III SDN. Jungcangcang II Kabupaten Pamekasan.

Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik pengamatan berpartisipasi, wawancara terstruktur terhadap 10 orang siswa dan guru kelas III. Hasil pengamatan dan wawancara tersebut direkam dalam bentuk "catatan-catatan lapangan". Selain kedua teknik tadi, juga digunakan teknik dokumentasi, dan lembar refleksi untuk guru dan siswa. Untuk memperoleh validitas dan objektivitas data, seluruh data hasil penelitian diolah, diorganisasi, dan dianalisis melalui prosedur: (1) pengumpulan dan katagorisasi data; (2) validasi data (triangulasi, member-check, audit trail, dan expert opinion) (Hopkins, 1985, 1993). Selanjutnya data yang telah valid tersebut "diinterpretasi" untuk menemukan "struktur makna" dari: (1) pola-pola konstruk konsep siswa; (2) potensi kebermaknaan penggunaan konsep siswa; serta (3) kendala dan persoalan dalam penggunaan konsep siswa di dalam pembelajaran IPS di SD.

Dalam penelitian tersebut, juga dikembangkan sebuah program tindakan pembelajaran yang penulis kembangkan sendiri sesuai dengan realitas kelas, dan atas dasar kerangka teoretik pengembangan pembelajaran berdasarkan penggunaan konsep siswa. Program tindakan dilakukan sebanyak enam kali siklus yang secara diagramatik dapat ditunjukkan dalam gambar sebagai berikut:

Gambar Bagan 1. Siklus Pengembangan Program Tindakan

Bagan 1. Siklus Pengembangan Program Tindakan

Eksplorasi adalah aktivitas pengungkapan konsep siswa oleh guru pada awal pembelajaran. Tujuannya adalah mengungkap variasi pengungkapan konsep siswa untuk kepentingan penciptaan mediasi/kaitan relasional antara konsep siswa dengan konsep pokok yang hendak dikembangkan selama pembelajaran.

Pengubahan konsep siswa adalah aktivitas guru untuk mengubah konsep siswa dari hasil eksplorasi. Aktivitas ini "hanya’ dilakukan manakala terdapat miskonsepsi-miskonsepsi dalam konstruk konsep siswa.

Generating adalah aktivitas guru menemukan ide-ide sentral yang terdapat dalam variasi pengungkapan konsep siswa, hasil eksplorasi yang telah dilakukan oleh guru pada awal pembelajaran.

Pemantapan dan elaborasi adalah aktivitas guru menunjukkan fakta, gejala, konsep, atau pendemonstrasian proses tertentu guna memantapkan konstruk konsep siswa; serta upaya guru memperluas konstruk konsep siswa (yang sudah dimantapkan) dengan konsep guru dan konsep harapan kurikulum.

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN KONSEP SISWA

Istilah konsep siswa digunakan pertama kali oleh Barr, et.al (1994). Konsep siswa dapat didefinisikan sebagai pengetahuan, pengertian, keyakinan, ekspektasi, persepsi, atau kesan mental setiap pribadi siswa terhadap dunia sekitar di mana dia hidup beserta fenomena yang terdapat di dalamnya, sebagai hasil pengamatan, pengenalan, interaksi, interpretasi, dan respon setiap pribadi terhadap realitas, fakta, obyek, gejala atau fenomena, serta problema sosial, yang mereka temui dan alami dalam hidup kesehariannya (Beyer, 1986; Skeel, 1995).

Basis konstruk konsep siswa adalah latar atau pengalaman pribadi, yang dibangun melalui proses penemuan dan belajar. Karena itu, konstruk dasarnya bersifat personal, unik, developmental, ‘tidak pernah benar’ (Beyer, 1979; Schuncke, 1988), senantiasa berubah-ubah (Vincentini, 1993) bahkan sangat intuitif, naif dan kurang ilmiah, tidak tepat, kurang terdiferensiasi, dan sangat berbeda dari tuntutan pengetahuan ilmiah (Dreyfus, et.al, 1990). Konsep siswa ini tidak lebih sebagai suatu blooming atau buzzing confusion, karena dibangun melalui belajar secara informal dan atas dasar akal sehat belaka (James dalam Travers, 1982), serta persis sesuai dengan pengalaman kesehariaan siswa, dan karena itu bersifat kontekstual.

Sungguhpun secara struktural konstruk konsep siswa berbeda dengan konstruk konsep ilmiah (Bar, et.al, 1994), namun eksistensinya dipandang sebagai komponen krusial bagi setiap pribadi (Wyner & Farquhar dalam Shaver, 1991). Bagi siswa, konstruk ini menjadi basis dirinya dalam bertindak, dan melakukan pendekatan terhadap pengalaman-pengalaman ilmiahnya di kelas; serta merupakan dunia kehidupan yang benar-benar nyata (Solomon dalam Tarigan, 1995).

Konsep siswa juga bukan sebagai gagasan-gagasan yang terisolasi, tetapi bagian integral dari struktur konseptual mereka yang dapat memberikan sensibilitas, koherensi, dan kebermaknaan pengertian dirinya tentang dunia dan masyarakatnya (Gilbert, et. al., 1982); bahkan sangat membantu bagi kesuksesan studinya (Champagne, et.al, dalam Dreyfus, 1990). Karena itu, eksistensi konsep siswa senantiasa harus dijadikan rujukan dalam setiap keputusan instruksional pendidik (Gilbert, et.al.,1982; Dumbo, 1986; Martorella dalam Shaver, 1995). Pembelajaran yang menafikan gagasan siswa, akan menyebabkan miskonsepsi-miskonsepsi mereka menjadi lebih kompleks dan stabil. Keadaan ini sering mengakibatkan kesulitan belajar, dan bermuara pada rendahnya prestasi belajar (Ausubel, dalam Sadia, 1996). Dalam kaitan ini, Thomas (Skeel, 1995) menyimpulkan, bahwa "tidak ada seorangpun (termasuk guru) yang dapat memberikan kepada setiap siswa konsep miliknya. Siswalah sebenarnya yang menjadi perancang, pembentuk konstruk konsepnya sendiri berdasarkan pengalaman kesehariannya".

Bertolak dari pandangan dasar bahwa belajar sebagai proses aktif dan interaktif, sebagai proses interpretasi dan interaksi diri terhadap realitas dan sensori-sensori baru yang melibatkan konstruksi-konstruksi inter dan intra individu, maka dalam perspektif penggunaan konsep siswa pembelajaran tidak lain sebagai konteks sosial atau mediasi kognitif (cognitive mediation) (Bell, 1993); sebagai ‘situasi stimulus’ (Gagne 1985; Dahar, 1991), dan atau sebagai proses negosiasi makna antara dimensi pembelajaran dan dimensi belajar (Bodner dalam Sadia, 1996). Setiap siswa dapat mencipta makna-makna. Melalui interaksi atau pengaitan diri antara pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitifnya dengan pengetahuan baru. Sentralitas dari setiap peristiwa pembelajaran terletak pada "susksesnya siswa mengorganisasi pengalaman belajarnya, bukan pada kebenaran siswa dalam melakukan replikasi atas apa yang dikerjakan guru" (Bodner dalam Sadia, 1996).

Dalam perspektif pembelajaran di atas, pengembangan pembelajaran Pendidikan IPS perlu diorganisasi melalui cara "…built on a foundation of direct, empirical experiences…" (Dewey dalam Ausubel, 1963). Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan substantif antara aspek-aspek konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Baik dalam bentuk hubungan-hubungan yang bersifat derivatif, elaboratif, korelatif, supportif, maupun yang bersifat hubungan-hubungan kualifikatif atau representasional. Dalam konteks ini, pembelajaran formal di sekolah memiliki peran sangat penting dalam proses pengubahan konseptual anak (Driver dalam Bell, 1993;. Martorella, 1985).

POLA-POLA KONSTRUK KONSEP SISWA

Pertama, konstruk konsep siswa mengandung bias sosial-budaya. Memang nampaknya agak sulit dipercaya, bila dalam konstruk konsep siswa dari seorang anak Sekolah Dasar (usia 9-10 tahun) pengkonseptualisasiannya bernuansakan adanya bias sosial-budaya. Namun, fakta menunjukkan bahwa dalam menyatakan pengertian terhadap sesuatu konsep ‘ilmiah’, seperti konsep letak/lokasi (kelurahan-desa dan kampung-dusun), siswa mengartikulasikannya dalam bahasa yang di dalamnya mengandung bias sosial-budaya. Sebuah letak/lokasi mereka konsepsikan secara dikotomistis antara kota-desa, dengan memposisikan kota sebagai pusat pengkonsepsiannya. Tidak dalam kerangka konsep geografis, tetapi lebih bersifat pemikiran dan kesadaran sosio-kultural. Artinya, konsepsi siswa tentang letak/lokasi mensubstansikan di dalamnya muatan emosi pribadi yang mendikotomikan antara format sosial budaya masyarakat kota di satu pihak dengan format sosial budaya masyarakat bukan kota.

Dalam konteks sosio-kultural demikian, kiranya dapat dipahami mengapa siswa mengidentikkan "kelurahan" dengan "kota" (dalam kota), dan "desa" dengan "luar kota". Percakapan keseharian pada masyarakat Madura, seperti "saya mau pergi ke kota" di dalamnya menyiratkan adanya perasaan senang atau bangga. Bagi masyarakat pinggiran dan pedesaan, istilah "kota" identik dengan "keserbaadaan". Pernyataan "kamu orang desa" atau "seperti orang desa atau orang kampung" dipandang sebagai pengungkapan rasa meremehkan terhadap status seorang itu.

Selain itu, apa yang siswa maksudkan dengan "kampung" lahir dari konsepsinya sebagai hasil analog dengan istilah ‘kampong’, suatu ungkapan dalam bahasa Madura yang menunjuk pada pegetian sebuah lokasi jauh di luar kota. Sebuah tempat yang ‘terpencil’ di tengah-tengah persawahan atau pegunungan.

(1) ...saya tidak berasal dari kampung. Tempat tinggal saya di kelurahan..., di dalam kota...,(mereka menyatakannya dengan sikap penuh penolakan diri), (kampung itu letaknya)...di desa, jauh di luar kota.

(2) ...kalau desa tempatnya jauh di luar kota, kalau kelurahan berada di kota...karena ayah pernah mengajak saya ke luar kota, ke desa.

Konseptualisasi yang bias sosial-budaya ini, tampaknya sebagai sesuatu yang bersifat intra-individual, namum lebih dikukuhkan oleh hal-hal yang bersifat inter-individual, hasil interaksi diri siswa dengan orang-orang di sekitarnya, terutama dari dalam lingkungan keluarganya.

(1) ...desa itu berada jauh di luar kota, sebab kata ayah dan ibu, nenek saya tinggal di desa...di desa Samatan.

(2) Ibu pernah mengatakan saya lahir di kampung, tempat kakek dan nenek saya tinggal.

Kedua, konsep siswa sering dibayangi oleh obyek sasaran yang mengatributkan adanya ciri-ciri fisikal yang melekat pada obyek tadi. Pada beberapa orang siswa, pengungkapan pengertian terhadap sesuatu konsep dicirikan oleh hal-hal yang bersifat fisikal, atau dinyatakan berdasarkan atribut-atribut fisik pada keadaan atau realitas yang teramati dan atau terlihat dari pengalaman keseharian mereka. Dalam mengungkapkan pegertian terhadap konsep letak/lokasi, siswa mengungkapkannya berdasarkan ciri-ciri alam (fisik) yang mengitari atau yang umum berada di suatu daerah (kelurahan dan desa):

(1) ...Ibu pernah mengatakan saya lahir di kampung...di desa Pasean.....di dekat pantai...

(2) ...(sebab) di kota tidak ada laut.

Konsep siswa tadi, juga ditemukan ketika siswa mempersepsikan konsep pekerjaan atau matapencaharian. Dalam hal ini ciri-ciri fisik dari sesuatu pekerjaan atau matapencaharian yang terlihat dan teramati dari apa yang orang lakukan pada pekerjaan atau metapencaharian itu. Di samping itu juga terlihat dari ciri-ciri fisikal pada daerah mana pekerjaan atau matapencaharian itu umum ditemukan oleh siswa.

(1) (matapencaharian adalah)...mengelola sawah dan ladang untuk menanami tanaman.

(2) orang yang bekerja di sawah dan ladang.

(3) orang desa umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan dan petani)...karena di desa banyak sawah, ladang dan laut...perbedaan matapencaharian antara penduduk kota dan desa karena perbedaan keadaan alamnya...(maksudnya)..., kalau di desa keadaan alamnya masih banyak sawahnya dan ladangnya, sedangkan di kelurahan sudah penuh dengan rumah-rumah dan toko.

(4) ...kakek saya di desa menjadi petani, sawahnya sangat luas.

Ketiga, pengungkapan konsep siswa bersifat kuantitatif. Khusus berkenaan dengan konsep matapencaharian, pengungkapan konsep siswa dicirikan oleh hal-hal yang lebih bersifat kuantitatif. Dimaknakan berdasarkan hasil kuantitatif dari apa yang telah orang lakukan. Bukan pada atribut-atribut dan atau nilai kualitatif yang melekat pada konsep tadi.

(1) (matapencaharian adalah)...pekerjaan,...(yaitu) orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan makan dan uang untuk keperluan sehari-hari.

(2) (matapencaharian adalah)... mencari uang

Keempat, pengungkapan konsep siswa bersifat egosentris. Pengertian siswa terhadap suatu konsep, juga seringkali berpusat pada diri sendiri. Artinya, kebenaran sesuatu pengertian semata-mata diletakkan pada apa yang siswa pandang benar bagi dirinya, dan sesuai dengan yang dialami dan diamati.

(1) ...saya lihat di TV anak-anak sekolah ada juga yang bekerja, seperti para penjual koran/majalah, penjual es.

(2) ...teman saya di rumah suka menjual mainan wayang kepada saya dan teman-teman saya.

Temuan tentang berbagai variasi pola pada konstruk konsep siswa di atas memiliki beberapa manfaat dalam pembelajaran Pendidikan IPS. Manfaat tersebut antara lain: (1) mengidentifikasi kepemilikan pengetahuan awal berkaitan dengan pokok bahasan yang hendak dibelajarkan; (2) mengidentifikasi miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat di dalam konstruk konsep siswa; (3) membantu guru mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa mempelajari sesuatu konsep pokok, dan menemukan alternatif pemecahannya secara lebih bermakna; (4) merancang prosedur yang mangkus dan sangkil pengembangan program pembelajaran terpadu (integrated learning) Pendidikan IPS yang lebih bersifat otentik dan alamiah; (5) mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan reflektif; (6) mengembangkan kesadaran dan apresiasi diri terhadap realitas, peristiwa dan problema sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya; serta (7) mengembangkan kemampuan social perspective taking.


POTENSI KEBERMAKNAAN PENGGUNAAN KONSEP SISWA

Analisis-reflektif terhadap keseluruhan pelaksanaan tindakan dan konstruk konsep siswa, menemukan beberapa potensi kebermaknaan penggunaan konsep siswa dalam pengembangan pembelajaran Pendidikan IPS.

Pertama, melalui penggunaan konsep siswa guru sejak awal-awal pembelajaran dapat mengidentifikasi kepemilikan pengetahuan awal berkaitan dengan pokok bahasan yang hendak dibelajarkan. Identifikasi kepemilikan pengetahuan awal siswa ini sangat diperlukan bagi upaya guru dan siswa menemukan kaitan-kaitan konseptual dan fungsinal antara informasi/konsep baru yang diterima selama pembelajaran Pendidikan IPS dengan informasi/konsep yang telah terdapat di dalam struktur kognitif mereka. Sehingga bagi siswa, pembelajaran Pendidikan IPS tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang verbalistik, serta proses maupun hasil pengalaman belajar yang diikutinya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang berada jauh di luar jangkauan kemampuan pemikirannya. Pembelajaran IPS pun akan lebih bermakna, karena pengalaman belajar baru yang baru dijalaninya memiliki kaitan konseptual dan fungsional dengan pengalaman belajar lama yang telah terpetakan di dalam konstruk konsep siswanya.

Kedua, mengidentifikasi dan menemutunjukkan adanya miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat di dalam konstruk konsep siswa. Adanya miskonsepsi-miskonsepsi dalam konseptualitas siswa ini, bukan suatu realitas yang harus dihindari di dalam mengembangkan suatu pembelajaran. Miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat di dalam konseptualitas siswa, justru harus benar-benar transparan dipetakan semenjak awal pembelajaran. Tidak terungkap dan transparannya miskonsepsi-miskonsepsi ini, mengakibatkan eksitensinya menjadi retensi, dan menjadi penyebab utama timbulnya kesulitan-kesulitan belajar siswa.

Lebih membahayakan lagi, manakala miskonsepsi-miskonsepsi ini semakin berakar dan berkembang lebih jauh tanpa sempat mengalami proses ‘rekonstruksi-diri' di dalam lumbung pengetahuan siswa, dan senantiasa dibawa pada jenjang pendidikan selanjutnya. Karena setiap pembelajaran yang diikutinya tidak pernah memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi terjadinya proses rekonstruksi-diri terhadapnya, atau karena guru belum atau tidak pernah menyentuh keberadaan konsep siswa tadi. Dalam kaitan ini, tidak selalu benar anggapan bahwa konsep siswa senantiasa bersifat naif, penuh dengan miskonsepsi-miskonsepsi, sehingga senantiasa harus ‘dicurigai’. Seperti ditunjukkan dari hasil pemetaan terhadap pola-pola konstruk konsep siswa di atas, ternyata konsep siswa tidaklah begitu naif dan selalu mengandung miskonsepsi.

Sungguhpun di dalam konseptualisasinya masih sangat parsial, dan bergantung pada konteks pengalaman pribadi siswa, akan tetapi seperti jelas terlihat dari tanya-jawab dialogis yang sengaja dirancang selama pengembangan tindakan, konsep-konsep siswa mengenai berbagai fokus pembelajaran menampilkan adanya pernik-pernik yang begitu kaya, dan mampu mengungkap berbagai realitas--bahkan persoalan-persoalan kritis—yang terdapat di dalam kehidupan keseharian siswa dan masyarakat sekitarnya, yang mungkin tidak akan sempat tampil ke permukaan bila dilakukan dalam kelaziman iklim pembelajaran yang selama ini terjadi. Konsep siswa tentang desa/kelurahan pada siklus tindakan kesatu, serta berbagai pengungkapan konsep siswa pada siklus-siklus tindakan selanjutnya merupakan contoh realistis yang cukup bermakna untuk mendapatkan gambaran nyata mengenai realitas kehidupan masyarakat.

Ketiga, dengan menggunakan konsep siswa guru terbantu untuk melakukan identifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam mempelajari sesuatu konsep pokok, dan menemukan alternatif pemecahannya secara lebih bermakna. Dari hasil beberapa kali pelaksanaan tindakan, baru terungkap adanya kesulitan yang dihadapi siswa berkenaan dengan konsep lokasi/wilayah desa/kelurahan (siklus tindakan kesatu), lokasi/wilayah kecamatan (siklus tindakan keempat), dan lokasi/wilayah kabupaten (siklus tindakan kelima). Penggunaan ‘peta konvensional’ belum sepenuhnya mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa. Refleksi bersama antara peneliti, peneliti-mitra, guru kelas terhadap proses pembelajaran yang akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk menambahkan atribut-atribut fisikal yang dikenal siswa ke dalam peta, cukup mencerminkan betapa penting arti konsep siswa dan pengalaman kesehariannya bagi pencapaian suatu proses pembelajaran bermakna. Penggunaan pengertian-pengertian yang cenderung bersifat administratif-konvensional tidak selamanya mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa, apalagi disajikan dengan begitu miskin, seperti yang terdapat di dalam buku paket IPS-SD yang digunakan selama ini di lapangan.

Keempat, penggunaan konsep siswa dapat dijadikan prosedur yang mangkus dan sangkil bagi pengembangan program pembelajaran terpadu (integrated learning) Pendidikan IPS yang lebih bersifat otentik dan alamiah. Otentisitas dan kealamiahan penggunaan konsep siswa bagi pengembangan pembelajaran terpadu, oleh karena guru seakan ‘dibebaskan’ dari pola pemikiran prosedural yang cenderung menyulitkan dalam pengorganisasian dan operasionalisasinya. Nilai-nilai keterpaduan pembelajaran secara ekspresif dan kreatif muncul dan berkembang selama pembelajaran berlangsung (selama proses tanya jawab dialogis dengan siswa). Hal ini sangat mungkin tercipta sebagai hasil pengungkapan konsep-konsep siswa yang mampu menampilkan adanya pernik-pernik yang begitu kaya mengungkap berbagai realitas sosial yang terdapat di dalam kehidupan keseharian siswa dan masyarakatnya.

Realitas tersebut dapat disimak dari konsep siswa tentang desa/kelurahan yang tidak hanya dipandang dari aspek geografis (dalam dan luar kota) (siklus tindakan kesatu), tetapi juga memunculkan aspek ekonomi (keadaan dan kekayaan alam, matapencaharian penduduk desa/kelurahan), dan aspek sosiologis (status dan peran interaktif penduduk desa/kelurahan) (siklus tindakan kedua). Juga dapat disimak dari konsep siswa tentang matapencaharian yang memunculkan aspek ekonomis (penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup keseharian), dan aspek geografis (hubungan interaktif antara jenis pekerjaan dengan keadaan alam) (siklus tindakan ketiga dan keenam).

Kelima, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan reflektif. Potensi ini sangat dimungkinkan, karena menggunakan konsep siswa berarti mengajak dan membimbing siswa untuk melihat hubungan relasional antara manusia (termasuk siswa) dengan realitas kehidupan lingkungan hidupnya. Penggunaan konsep siswa juga dapat mengajak dan membimbing siswa melihat secara jelas dimensi ideal yang terdapat di dalam pengalaman belajar formal di sekolah dengan dimensi faktual yang terdapat di dalam pengalaman non formal di keluarga dan masyarakat.

Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan reflektif di sini, tidak harus dimaknakan sebagai kemampuan berpikir sebagaimana layaknya seorang ilmuwan sosial melihat realitas dan persoalan dalam keketatan paradigma metode ilmiah. Tetapi, pada pengembangan kemampuan keterampilan dasar siswa melihat secara inderawi (merasa, merumuskan kesimpulan dengan bantuan peta atau gambar, memahami, mengumpulkan fakta, menafsirkan, dll) hubungan relasional antara manusia (dirinya) dengan lingkungan sekitarnya, melihat adanya variansi antara yang ideal dengan realistis berdasarkan kiteria-kriteria yang ada.

Bagaimana konsep siswa tentang desa/kelurahan yang diungkapkan dalam pengertian sosial-budaya, dan bagaimana guru melakukan tanya jawab dengan siswa yang sarat dengan konflik-konflik kognitif dan perspektual (siklus tindakan kesatu dan kedua); bagaimana guru dalam tanya jawab dialogisnya untuk membimbing siswa melihat hubungan relasional antara pilihan matapencaharian dengan keadaan lingkungan sekitar (siklus tindakan ketiga); serta bagaimana guru melakukan dialog-dialog kognitif disertai penggunaan peta dalam membimbing siswa melihat secara jelas topografi suatu daerah (desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten) berdasarkan kriteria kewilayahan (siklus tindakan kedua, keempat, dan kelima), dan bagaimana guru melalui wacana yang memetakan realitas kehidupan masyarakat daerahnya mengajak siswa melihat dan berpikir tentang gulma kehidupan orang-orang di sekitar mereka (siklus tindakan keenam), merupakan beberapa hal yang dapat mendukung adanya potensi ini.

Keenam, penggunaan konsep siswa juga bermakna untuk mengembangkan kesadaran dan apresiasi diri terhadap realitas, peristiwa dan problema sosial yang terjadi di lingkungan sekitar siswa. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, konsep siswa tentang sesuatu hal, tidak lain sebagai hasil pengalaman dan interpretasi diri mereka selama berinteraksi dengan lingkungan fisik dan sosial dalam kehidupan kesehariannya. Karena itu, konsep-konsep siswa merefleksikan di dalamnya pernik-pernik realitas, kesadaran dan atau emosi sosial yang terdapat di dalam kehidupan keseharian dan masyarakat sekitar siswa. Bahkan juga ekspektasi siswa terhadap kehidupan masyarakat dimana dia tinggal.

Sebagai contoh kasus dalam hal ini, dapat dikaji dari konsep siswa tentang desa/kelurahan (siklus tindakan kesatu dan kedua), dan matapencaharian penduduk (siklus tindakan ketiga). Dalam ketiga siklus ini, pengungkapan konsep siswa dengan memaknakan letak/lokasi desa/kelurahan dalam referensi pemikiran sosial-budaya menyadarkan kita terhadap adanya kesadaran sosial-budaya pada diri siswa, mengungkapkan adanya problema di dalam kehidupan masyarakat kita ("…tidak bu, saya tidak berasal dari kampung…kampung berada di desa, jauh di luar kota…") yang perlu guru cermati di dalam setiap pembelajaran yang diselenggarakan. Konsep siswa tentang letak/lokasi desa, juga mengungkapkan kepada kita adanya sikap kerinduan siswa terhadap keelokan panorama alam pedesaan ("…pemandangannya bu, saya sering kalau hari minggu atau liburan sekolah pergi piknik ke desa. Pergi melihat sawah-sawah yang luas. Saya juga pernah diajak ayah piknik ke pantai Lombang…"); kejenuhan terhadap kehidupan perkotaan ("…kalau di desa keadaan alamnya masih banyak sawahnya dan ladangnya, sedangkan di kelurahan sudah penuh dengan rumah-rumah dan toko-toko…"). Sementara itu, konsep siswa tentang matapencaharian penduduk mengungkapkan ekspektasi diri siswa terhadap nilai sosial dari sebuah matapencaharian ("…di kelurahan tidak ada yang menjadi petani dan nelayan. Tetangga saya banyak yang menjadi guru…").

Ketujuh, mengembangkan kemampuan social perspective taking. Adalah benar, bahwa penggunaan konsep siswa berarti menghadapkan guru pada berbagai ekspresi pengungkapan konsep siswa yang cenderung bersifat egosentris, dan akan sulit menerima pendapat siswa lain. Penciptaan situasi pembelajaran yang menghadapkan siswa ke dalam situasi konflik kognitif pada konsepnya, yang dikemas melalui tanya jawab melacak dan menuntun, sangat efektif untuk menerjadikan dan melibatkan siswa lain dalam dialog kognitif yang akan merangsang dan membuka perspektif siswa terhadap pandangan-pandangan dari siswa yang lain, sehingga para siswa secara terbuka dan ekspresif mengemukakan konsepnya secara otentik dan alamiah, serta melakukan rekonstruksi diri terhadap bagian-bagian tertentu di dalam konstruk konsep siswa yang masih kurang/lemah, atau terdapat miskonsepsi. Di samping melakukan pemantapan dan elaborasi diri terhadap konstruk konsep siswa yang sudah benar.

Proses pengubahan konsep siswa tentang desa/kelurahan melalui pemberian perspektif lain berkenaan dengan peran interaktif penduduk desa/kelurahan (siklus tindakan kedua), serta dialog-dialog kognitif yang diciptakan guru bekenaan dengan pembelajaran konsep wilayah kecamatan dan kabupaten (siklus tindakan keempat dan kelima) merupakan contoh-contoh kasus bagi kemungkinan pengembangan sikap social perspective taking pada diri siswa.

Beberapa potensi kebermaknaan penggunaan konsep siswa sebagaimana dikemukakan tadi, sangat menuntut iklim pembelajaran yang terbuka, dialogis, kreatif, sehingga mampu menyediakan kesempatan luas bagi siswa mengungkapkan konseptualisasi dirinya berkenaan dengan konsep pokok yang hendak dibelajarkan secara otentik dan alamiah. Hanya perlu disadari, bahwa pembelajaran Pendidikan IPS berdasarkan penggunaan konsep tidak berarti bahwa guru harus memetakan konstruk konsep seluruh siswa di dalam satu kelas. Juga bukan berarti bahwa guru harus berhadapan dengan siswa dan konsepnya secara orang-per-orang. Penggunaan konsep siswa lebih menekankan pada bagaimana kinerja guru untuk bersikap sensitif dan peduli (caring) terhadap ideosyncracies pengungkapan konsep siswa, melalui penciptaan iklim pembelajaran yang bebas, terbuka, luwes, dan akomodatif; dengan mencoba mendekatkan, mengakrabkan, atau mengintimkan pengalaman belajar siswa di kelas dengan pengalaman belajar keseharian siswa yang terakumulasikan di dalam konsep siswa. Sehingga setiap siswa dapat membangun pengertian-pengertian sendiri berdasarkan makna-makna yang dicerap dari pengalaman belajarnya.


KENDALA DAN PERSOALAN DALAM PENGGUNAAN KONSEP SISWA

Kendala dan persoalan-persoalan yang muncul dalam mengembangkan pembelajaran Pendidikan IPS berdasarkan konsep siswa, banyak terletak pada aplikasi empat peran pokok guru yaitu sebagai: (1) eksplorator; (2) mediator; (3) fasilitator; dan (4) rekonstruktor dalam mendekatkan, mengakrabkan, serta mengintimkan siswa dan konsep siswanya dengan fokus-fokus kajian pembelajaran. Persoalan ini diperparah lagi karena pola berpikir guru yang cenderung definitif, katagoristis dan otoritatif.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesulitan yang dihadapi siswa untuk berpartisipasi aktif, mengajukan pendapat, atau mencerap informasi baru, banyak disebabkan oleh kekurangmampuan guru dalam membimbing, menuntun, dan melibatkan siswa semenjak awal pembelajaran Pendidikan IPS. Akibatnya, kesadaran diri siswa untuk berpendapat, beraktivitas, berpartisipasi, dan berinteraksi kurang mendapatkan aklamatisasi dari guru. Kekurangmampuan guru dalam melakukan peran-peran di atas, menimbulkan persoalan pada kemampuan siswa mengungkapkan konsep siswanya tentang sesuatu konsep pokok yang hendak dibelajarkan dan dikembangkan, karena tidak setiap siswa memiliki kemampuan dalam mengungkapkan gagasan dan pendapatnya yang mengartikulasikan konsep siswanya mengenai sesuatu konsep.

Persoalan-persoalan di atas semakin problematik manakala dihadapkan pada pokok-pokok bahasan/sub-sub pokok bahasan dalam kurikulum formal yang tidak jarang menyulitkan guru untuk melakukan mediasi, fasilitasi dan rekonstruksi pembelajaran, yang memungkinkan siswa lebih dekat, akrab dan intim dengan konsep siswa dan pengalaman kesehariannya. Pandangan guru bahwa kurikulum formal sebagai satu-satunya rujukan pembelajaran, serta masih dianutnya sistem tagihan nasional—meminjam istilah Raka Joni—dalam penilaian hasil belajar siswa dipandang oleh guru sebagai kendala serius yang harus dihadapi untuk melakukan mediasi, fasilitasi dan rekonstruksi bahan-bahan substansial kurikulum, dengan pemanfaatan konsep siswa dan pengalaman kesehariannya ke ajang kelas pembelajaran Pendidikan IPS.

Berkaitan dengan persoalan di atas, disadari pula oleh guru bahwa pengembangan pembelajaran Pendidikan IPS berdasarkan penggunaan konsep siswa sangat banyak menyita waktu, terutama dalam melakukan mediasi, fasilitasi pada tahap pengeksplorasian konsep siswa.

Kendala dan persoalan lain yang juga ditemukan selama penelitian dilakukan adalah berkaitan dengan konsep "penelitian tindakan". Dalam hal ini, ternyata bahwa dimensi penelitian belum begitu menggembirakan. Menurut responden guru, istilah penelitian memang bukan sesuatu yang baru didengar, akan tetapi apabila penelitian itu harus dilaksanakan secara bersamaan dengan mengajar dirasakan cukup ‘memberatkan’. "Saya masih belum bisa membayangkan, bagaimana kami harus melakukan aktivitas penelitian dan secara bersama saya juga harus mengajar...bagi Bapak mungkin hal itu sudah biasa, tetapi bagi kami...!!!".

Temuan tadi menjelaskan suatu realitas, bahwa nosi dialektik dari konsep "guru sebagai peneliti" masih perlu waktu dalam pembudayaannya, atau setidak-tidaknya guru masih perlu diberikan keyakinan bahwa hal itu bisa dilakukan. Pendek kata, ada kesan pendikotomian antara penelitian dan mengajar. Penelitian adalah milik dan dunia para peneliti, sementara mengajar adalah milik dan dunia guru.

Penggunaan konsep siswa memang sangat menuntut guru untuk mampu menampilkan diri dalam peran-peran yang bisa mendekatkan, mengakrabkan dan mengintimkan siswa antara pengalaman kesehariannya dengan fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS. Otentisitas, kealamiahan dan kebermaknaan pembelajaran memang sangat bergantung pada bagaimana guru mengaitkan antara apa yang "akan dibelajarkan" dengan apa yang "telah siswa ketahui" berdasarkan pengalaman kesehariannya. Hal menarik dan penting untuk dicermati dalam pengembangan pembejaran berdasarkan penggunaan konsep siswa, adalah kebergantungan yang sangat besar pada "konstruk konsep siswa".

Oleh sebab itu, bila tolok ukur meningkatnya iklim pembelajaran adalah aktivitas, partisipasi dan interaksi antara guru dan siswa, maka titik krusialnya terletak pada tahap pengeksplorasian konsep siswa yang merupakan dasar pijakan bagi guru untuk mengembangkan lebih lanjut format pembelajaran Pendidikan IPS yang hendak diselenggarakan. Tahap pengeksplorasian konsep siswa juga sebagai tahapan yang dirasakan guru agak berat dan sulit, terutama pada periode-periode awal pelaksanaan tindakan. Sebab, pada tahap eksplorasi ini, guru harus senantiasa mengupayakan terungkapnya konstruk konsep siswa beserta pola-polanya, dan membangun kaitan-kaitan konseptual dan fungsional antara spektrum konsep siswa dengan spektrum konsep kurikulum. Untuk itu, pembelajaran Pendidikan IPS atau fokus kajian yang hendak dibelajarkan terlebih dahulu harus dibawa ke alam pikiran dan kesadaran siswa, dan menemukan kaitannya dengan apa yang telah mereka ketahui dari pengalaman kesehariannya.

Dalam kaitan ini, ada empat peran kritis guru yang seyogianya dimiliki, yaitu sebagai:

  1. Eksplorator. Guru sebagai pengungkap, pengidentifikasi variasi-variasi atribut kualitatif yang terdapat di dalam konstruk konsep siswa. Termasuk juga mengidentifikasi dan menemutunjukkan adanya miskonsepsi-miskonsepsi yang muncul di dalam pengungkapan konsep siswa. Peran ini sangat strategis dan mendasar dalam membantu siswa menemukan konsep-konsep yang saling bergayutan yang terdapat di dalam struktur kognitifnya. Dalam perannya sebagai eksplorator konsep siswa ini pula, guru dapat melakukan proses seleksi terhadap atribut-atribut konsep siswa yang dapat terus dimantapkan dan dielaborasi, atau konsep-konsep siswa yang dipandang perlu dilakukan proses restrukturisasi konsep siswa, sebelum dilakukan pemantapan dan elaborasi lebih jauh;
  2. Mediator. Guru berperan dalam upaya menghubungkan, menjembatani atau mengaitkan antara konsep siswa dengan konsep pokok yang menjadi fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS, atau sebaliknya. Peran sebagai mediator ini, sangat penting bagi penciptaan kondisi dan kesiapan belajar siswa;
  3. Fasilitator. Guru berperan dalam upaya menyediakan bahan-bahan material yang dibutuhkan siswa dalam proses pengaitan, pengubahan, pemantapan dan elaborasi konsep siswa dengan konsep pokok yang menjadi fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS atau sebaliknya, dan
  4. Rekonstruktor. Di satu sisi, guru berperan dalam upaya melakukan pengubahan, penataan kembali, dan atau penyederhanaan terhadap konsep pokok yang menjadi fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS sehingga mudah diterima dan dimengerti siswa, dan atau menemukan hubungan/kaitan fungsional dengan konsep siswa yang telah terpetakan di dalam struktur kognitifnya. Di sisi lain, guru berperan dalam upaya melakukan pengubahan, penataan kembali terhadap konstruk konsep siswa. Terutama bila ditemukan adanya miskonsepsi-miskonsepsi di dalam pengungkapan konsep siswa. Penggunaan konflik-konflik kognitif dapat dijadikan prosedur yang cukup baik untuk mencapai maksud ini.

PENUTUP

Pembelajaran Pendidikan IPS berdasarkan penggunaan konsep siswa sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kinerja profesional guru, kinerja siswa, dan iklim sosial pembelajaran Pendidikan IPS. Penggunaan konsep siswa juga memiliki berbagai potensi kebermaknaan baik berkenaan dengan aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang hendak dikembangkan di dalam Pendidikan IPS. Penggunaan konsep siswa juga sangat potensial di dalam mendekatkan, mengakrabkan, atau mengintimkan pengalaman belajar di kelas dengan pengalaman belajar keseharian siswa yang terakumulasikan di dalam konsep siswa, sehingga siswa dapat membangun sendiri pengertian-pengertiannya berdasarkan makna-makna yang mereka cerap dari pengalaman belajarnya di kelas/sekolah.

Pengunaan konsep siswa di dalam pembelajaran Pendidikan IPS ini, berimplikasi luas terhadap khasanah piranti profesional guru sebagai seorang eksplorator, mediator, fasilitator, dan rekonstruktor pengalaman belajar siswa, melalui kepemilikan khasanah pengalaman perseptual terhadap pengalaman aktual keseharian siswa. Persoalan-persoalan yang timbul dan harus senantiasa dicermati guru dalam mengembangkan pembelajaran Pendidikan IPS berdasarkan penggunaan konsep siswa, sangat ditentukan oleh faktor kinerja guru ini, di samping dari faktor siswa, dan bahan dan tugas-tugas pembelajaran itu sendiri.

Penggunaan konsep siswa sebagai basis pengembangan pembelajaran Pendidikan IPS tidak berarti bahwa guru harus memetakan konstruk konsep seluruh siswa di dalam satu kelas. Bukan berarti bahwa guru harus berhadapan dengan siswa dan konseptualitasnya secara orang-per-orang. Penggunaan konsep siswa lebih menekankan pada bagaimana kinerja guru untuk bersikap sensitif dan peduli (caring) terhadap ideosyncracies pengungkapan konsep siswa, melalui penciptaan iklim pembelajaran yang bebas, terbuka, luwes, dan akomodatif.

Berdasarkan temuan penelitian, direkomendasikan:

  1. pengembangan pembelajaran Pendidikan IPS-SD berdasarkan penggunaan konsep siswa perlu dikembangkan dan dibudayakan, dengan senantiasa tetap berpijak pada keunikan pribadi, realitas latar sosial dan budaya sebagai konteks keterjadian pembelajaran
  2. pengembangan pemikiran dan konstruksi kurikulum IPS-SD terpadu (integrated curriculum) hendaknya lebih memberikan porsi yang lebih besar pada perspektif pengalaman belajar keseharian--sebagai basis konseptualisasi siswa, dan atau yang lebih berpihak kepada kepentingan siswa (students oriented)
  3. pengemasan dan pengembangan bahan pembelajaran Pendidikan IPS-SD perlu dilakukan berdasarkan atau bersumber dari realitas dan akrab dengan kehidupan keseharian siswa. Hal ini sangat penting dalam mendukung tercapainya pengalaman belajar IPS yang lebih fungsional
  4. guru Sekolah Dasar hendaknya mampu memahami, mengenal lebih jauh alam pemikiran para siswanya, bahkan memasuki dunia "keanak-anakan" siswa. Guru hendaknya juga dapat lebih meningkatkan kinerja profesionalnya, dengan menempatkan diri dalam peran-peran diri sebagai eksplorator, fasilitator, mediator dan rekonstruktor pengalaman belajar siswa, sehingga proses pembelajaran Pendidikan IPS lebih akrab dan lebih bermakna bagi penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran
  5. guna mendukung terciptanya guru sebagai peneliti, perlu dibinakembangkan kolaborasi antara tenaga kependidikan di jenjang sekolah dasar, antara dosen/peneliti dengan guru SD dalam melakukan refleksi-diri terhadap kehidupan di kelas/sekolah masing-masing
  6. perlu pula dipikirkan bagaimana para guru sekolah dasar dapat mengembangkan tradisi penelitian. Dalam kaitan ini, elaborasi dan peningkatan peran dan fungsi program remidial teaching sebagai bentuk program evaluasi-diri guru terhadap praktik pembelajarannya sangat efektif sebagai langkah awal bagi proses pengembangan tradisi penelitian guru

DAFTAR RUJUKAN

Alleman, J.E. & Cheryl, E.R. 1991. The cognitive, social, emotional, and moral development characteristics of students: Basic for elementary and middle school social studies. James P.S. Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: McMillan Publishing Company. 109-120.

Ausubel, D.P. 1963. The psychology of meaningful verbal learning. New York: Grune & Stratton.

Banks, J.A. & Ambrose, A.C. Jr. 1985. Teaching strategies for the social studies. New York: Longman, Inc.

Banks, J.A. 1995. Transformative challenges to the social sciences disciplines: Implications for social studies teaching and learning. Theory and Research in Social Education, 23 (1), 2-20.

Bar, V. et.al. 1994. Student’s concepts about weight and free fall. Science education. 78(2): 149-169.

Bell, B. 1993. Children’s science, constructivism and learning in science. Australia: Deakin University.

Beyer, B.K. 1979. Teaching thinking in social studies: Using inquiry in the classroom. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company & A Bell & Howell Company.

Carter, D.S.G. 1990. Knowledge transmitter, social scientist or reflective thinker: Three images of the practioner in western Australian High Schools. Theory in research in social education,. 18 ( 3). 274-317.

Dahar, R.W. 1991. Teori-teori belajar. Bandung: Erlangga.

Dreyfus, et.al. 1990. Some long-term effects of uniformed conceptual change. Science Education. 76 (2). 175-197.

Dumbo, M.H. 1986. Teaching for learning. Santa Monica, California: Goodyear Publishing Company, Inc.

Gagne, R.M. 1985. The conditions of learning. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Gilbert, J.K. et.al. 1982. Children’s science and its consequences for teaching. Journal of Science Education, 66(4). 623-633.

Hitchcock, G. & David, H. 1992. Research and the teacher: A qualitative introduction to school-based research. London: Routledge.

Hopkins, D. 1993. A teacher’s guide to classroom research. Milton Keynes: Open University Press.

Hopkins, D. 1985. A teacher’s guide to classroom research. Milton Keynes: Open University Press.

Madya, S. 1994. Panduan penelitian tindakan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

Martorella, P.H. 1991. Knowledge and concept cevelopment in social studies. Dalam Shaver, J.P. Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. (hal. 109-120). New York: McMillan Publishing Company.

Mc Niff, J. 1992. Action research: Principles and practice. New York: Routledge, Chapman & Hall, Inc.

Parker, W.C. 1991. Renewing social studies curriculum. Virginia: ASCD.

Purta, J.T. 1991. Schema theory and cognitive psychology: Implications for social studies. Theory and Research in Social Education, 19(2). 189-210.

Sadia, dkk. 1996. Pengaruh prior knowledge dan strategi conceptual change dalam pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) di Sekolah Menengah Pertama (SMP): Suatu studi pembelajaran IPA dalam pandangan paradigma konstruktivisme. Singaraja: STKIP.

Schuncke, G.M. 1988. Elementary ocial studies: Knowing, doing, caring, New York: Macmillan Publishing Company & Collier Macmillan Publishers.

Shaver, J.P. 1991. Handbook of research on social studies teaching and learning. New York: McMillan Publishing Company.

Skeel, D.J. 1995. Elementary social studies: Challenges for tomorrow’s world. Orlando, Florida: Harcourt Brace & Company.

Suwarma A.M. 1991. Pengembangan keterampilan berpikir dan nilai dalam pendidikan ilmu pengetahuan sosial: Suatu studi sosial budaya pendidikan. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: FPS-IKIP Bandung.

Tarigan, S. 1995. Strategi belajar mengajar dalam konsep struktur atom untuk melakukan perubahan konsep awal siswa. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: PPS-IKIP Bandung.

Travers, J. 1982. Using an analogical teaching approach to engender conceptual change. Science Education. 65 (1). 93-105.

Vincentini, M. 1993. Comment on the article ‘studying conceptual change in learning physics’ by Dykstra, Boyle, and Monarch. Science education. 77(4): 461-463.